SUARA INDONESIA SURABAYA

Pengamat Ekonomi Independen Sayangkan Terbitnya Perda 5 Tahun 2020 Beri Keleluasaan Toko Modern Berjejaring

Bahrullah - 22 February 2021 | 23:02 - Dibaca 2.31k kali
Peristiwa Daerah Pengamat Ekonomi Independen Sayangkan Terbitnya Perda 5 Tahun 2020 Beri Keleluasaan Toko Modern Berjejaring
Dua Toko Modern di Kecamatan Prajekan Jarak Tidak Kudang Dari 50 Meter Antara Sema Toko Modern Berjejaring (Foto: Bahrullah/Suaraindonesia)

BONDOWOSO - Rudi Imam, Pengamat Ekonomi Independen, sangat menyayangkan terbitnya Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 2020, tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.

Sebab, Perda itu terlalu dominan memberikan keleluasaan pada swalayan atau toko modern berjejaring.

Rudi menegaskan, pada hakikatnya Perda itu untuk mengatur dan maksudnya baik. Tapi sayang, yang swalayan itu seharusnya tidak perlu diatur dengan kondisi yang ada seperti di dalam isi Perda saat ini, khususnya soal jarak.

"Lahirnya Perda yang baru disahkan ini menjadi sangat ironis," katanya pada media, Senin (22/2/2020).

Lebih lanjut, alumni S1 Fakultas Ekonomi UNEJ angkatan 1975 itu mengatakan, seharusnya anggota DPRD Pansus Perda yang menggodok perda itu peduli terhadap sektor UMKM dan pedagang-pedagang informal atau pedagang-pedagang kecil yang terdampak langsung adanya covid-19 ini.

"Seharusnya yang menjadi perhatian di dalam Perda itu seperti, pedagang yang berjualan di Pasar Induk Bondowoso, Pasar Maesan, Pasar Pujer, Pasar Wonosari, Pasar Prajekan, dan toko-toko kecil tradisional di pelosok-pelosok desa," tambahnya.

Alumni S2 di IPB Tahun 1990, konsentrasi di bidang masalah ekonomi menerangkan, pengusaha itu ada dua, ada pengusaha besar dan pengusaha kecil, sedangkan pengusaha kecil itu ada dua, formal dan informal, yang formal itu namanya UMKM.

Sedangkan yang informal, lanjut Rudi, seperti pedagang di pasar-pasar dan toko-toko kecil yang seharusnya perlu diatur, dengan maksud untuk mendorong, membantu, memperhatikan, membina, dan mensupport, agar supaya semakin maju dan dapat bersaing dengan toko-toko modern.

"Kalau toko modern berjejaring itu milik pengusaha besar (Korporasi) yang tujuannya menambah kekayaan, sementara mereka pengusaha kecil atau pemilik koto tradisional dan toko kelontong berdagang merupakan mata pencaharian utama untuk bertahan hidup," ujarnya.

Laki-laki mentan Kepala bidang perdagangan dalam dan luar negeri, Departemen Perdagangan yang saat ini kemudian menjadi Diskoperindag itu menyatakan, bahwa belum waktunya zonasi jarak itu dikurangi menjadi 50 meter.

Rudi menghimbau, soal jarak seharusnya tetap berpedoman pada Perda lama (Perda Nomor 3 Tahun 2012) yang jaraknya 1000 meter itu.

Mereka swalayan atau toko modern berjejaring, Kata Rudi, belum waktunya diberikan kebebasan dan keleluasaan seperti jarak yang telah dicantumkan pada Perda 5 Tahun 2020 itu.

"Intinya toko swalayan itu belum saatnya diberikan kebebasan melalui jarak yang terlalu signifikan seperti Perda nomor 5 tahun 2020 ini, dari 1000 meter menjadi 50 meter," sambungnya.

Kata dia, kalau begitu dengang Perda baru ini maka semakin lama semakin menggencet toko yang kecil-kecil.

Secara logika dari jarak 1000 meter menjadi 50 meter itu bisa berdempet-dempetan, cepat atau lambat pasti akan berdampak terhadap pedagang-pedagang kecil dan lama-lama akan memonopoli atau mematikan toko tradisional.

Dia menyatakan, sangat menjadi aneh kenapa swalayan itu justru yang seolah-olah menjadi pusat perhatian di dalan Perda yang disahkan pada bulan Juli 2020 kemarin.

Justru faktanya, menurut dia, saat ini yang kecil-kecil digencet oleh kebijakan, salah satunya seperti persoalan yang terjadi di Pasar Induk Bondowoso yang tidak selesai-selesai.

Dia mencetuskan, soal diwajibkan swalayan dan toko modern untuk membina toko tradisional itu mungkin akan berjalan hanya Satu minggu, Dua minggu, Satu bulan, dan berikutnya barangkali akan dilaksanakan, tapi untuk selanjutnya tidak akan mungkin.

Sebab, standar mutu yang ditentukan oleh swalayan dengan pasar dan toko tradisional itu sudah berbeda.

"Yang namanya logika pasar itu pasti persaingan. Diakui atau tidak, pada akhirnya yang kecil itu tidak bisa bersaing dan akan mati," ujarnya.

Menurut dia, logika bisnis tidak mungkin pengusaha besar membina pengusaha kecil, apalagi hanya pedagang-pedagang kecil kelontong.

persoalannya, lanjut dia, apa mungkin produk-produk kecil seperti keripik, rengginang dan lainya hasil produk UMKM itu di standar mutukan.

"Pengusaha kecil itu bersifat lokal, sedangkan swalayan atau toko berjejaring itu berskala nasional, seperti Indomaret dan Alfamart itu skalanya nasional," terangnya.

Menurutnya, kalau yang besar itu disuruh membina yang kecil, tentu itu tidak mungkin berjalan, toh kalau itu dilakukan tidak akan terus menerus.

Menurutnya, saat ini dengan perda nomor 5 tahun 2020 sudah mengarah kepada liberalisasi dan lama lama pasti akan mengarah pada monopoli.

Dia berharap dan menyarankan agar perda itu bisa direvisi, sebab diduga pemangkasan soal jarak bukan lahir dari proses kejian dan pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

"Saat ini masyarakat sudah semakin peduli terkait dengan perkembangan zaman, apalagi soal perda ini yang juga sudah menjadi sorotan publik karena dinilai tidak berpihak kepada pengusaha kecil," pungkasnya.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Bahrullah
Editor :

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya