SUARA INDONESIA SURABAYA

Kisah Inspiratif di Bondowoso, Tukang Pijat Umur 100 Tahun Bertahan di Tengah Pandemi

Bahrullah - 20 October 2021 | 07:10 - Dibaca 12.75k kali
Peristiwa Daerah Kisah Inspiratif di Bondowoso, Tukang Pijat Umur 100 Tahun Bertahan di Tengah Pandemi
Naghi alias Mbah Haji Hamid, tukang pijat umur 100 saat memijat salah satu anak kecil yang merupakan pasiennya (Foto: Bahrullah/Suaraindonesia.co.id)


BONDOWOSO - Terlihat sosok seorang wanita tua rentan mengenakan baju dan kerudung warna kuning, serta mengenakan samper sarung batik, kedua tangannya memegang punggung anak kecil yang sedang berbaring tengkurap di depannya.

Wanita tua itu wajah dan kulitnya sudah mulai keriput, pandangan matanya sayup-sayup, fokus memijat punggu anak kecil yang berbaring itu.

Ia, dia anak kecil itu berbaring di depannya adalah salah seorang pasiennya yang sedang pijat relaksasi.

Perempuan tua itu namanya Naghi. Namun, orang lebih akrab memanggil namanya dengan sebutan Mbah Haji Hamid setelah ia pada saat itu selesai menjalani ibadah haji.

Mbah Haji Hamid merupakan salah satu orang perempuan satu diantara ribuan kaum hawa yang mampu bertahan hidup di tengah pandami Covid-19.

Naghi bertahan hidup dimana situasi ekonomi sedang sulit karena terdampak adanya penyakit menular yang datang dari Wuhan China sejak 2019 itu.

Mbah Haji Hamid lahir pada tahun 1921 yang berprofesi sebagai tukang pijat anak kecil. Mbah jompo itu tinggal di Dusun Wonosroyo Timur, Desa Lombok Kulon, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.

Saat ini Mbah Haji Hamid tinggal berdua bersama anak putrinya, bernama Muana yang juga sudah punya putra satu orang, namun sudah sudah tiada atau meninggal dunia beriringan dengan meninggal dunia suaminya.

Sudah berlangsung lama ia menjalani profesinya, sekira kurang lebih sekitar 70 tahunan.

"Saya menjalani profesi sebagai tukang pijat sudah hampir 70 tahun, sejak masih ada pemerintahan Jepang," ujarnya pada media, Senin (18/10/2021).

Lebih lanjut perempuan yang sudah berumur 100 tahun itu, mengaku, juga masih sempat menjadi saksi hidup terhadap proses pembangunan jembatan panjang yang dibangun di desanya oleh pemerintahan Belanda.

Mbah Haji Hamid menyampaikan sebelumnya memijat orang tanpa memandang usia. Namun seiring berjalannya waktu karena faktor bertambahnya usia dan tenaganya mulai mengurang, sehingga ia hanya sanggup memijat anak kecil dan balita.

”Saya berpengalaman dari berbagai macam jenis pijat, baik penyegaran, relaksasi atau penghilang capek-capek, penyembuhan keseleo, gangguan perut, memijat wanita hamil dan lainnya,” ujarnya.

Saat awal pandemi Covid-19, Mbah Hamid mengaku pelanggannya sempat berkurang.

”Orang-orang kemarin masih takut dengan Covid-19. Sejak November 2020 sudah lumayan, pasien yang sering pijat mulai berdatangan lagi. Kemarin saat awal-awal Tahun 2020 seminggu kadang hanya dapat tiga orang,” ujar Emba Haji Hamid.

Dalam melayani pasiennya, ibu 4 orang anak itu tak mematok tarif pada pasiennya. Namun rata-rata setiap pasiennya memberi upah Rp.10.000, kadang Rp.15.000 per orang.

Setiap harinya ia bisa memijat 9 sampai 15 orang anak kecil, terkadang bisa lebih.

Pendapatannya dalam sehari bisa Rp. 100 ribu sampai Rp.150 ribu, kadang pula bisa lebih.

Sudah banyak pasien anak kecil sembuh dari penyakitnya yang dipijat olehnya.

Mbah Hamid bercerita yang menjadi pasien pijatnya tidak hanya orang dari dalam kota atau Kabupaten Bondowoso saja. Namun juga ada dari luar kota, seperti dari Situbondo dan Jember,

Berkat pelantara profesinya itu, hasilnya sudah membuat ia berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun Enam Puluhan.

Tak hanya cukup sampai disitu saja, hasilnya Mbah Haji Hamid menjadi tukang pijat juga mampu membangun mushola kecil yang saat ini menjadi tempat shalat tetangga sekitarnya.

Perempuan Jompo itu sudah bertahun-tahun lamanya berprofesi menjadi tukang pijat. Namun masih belum mendapatkan bantuan dari pemerintah soal pemulihan ekonomi nasional untuk menunjang profesinya.

Mbah Naghi atau Haji Hamid memulai aktivitasnya memijat sejak pagi, dari Jam 06.00 WIB sampai sore Jam 17.00 WIB. Hanya saja jam jam tertentu istirahat  makan dan shalat. Seperti Jam 12.00 WIB dan Jam 15.00 WIB.

Setiap hari di rumahnya tidak pernah sepi dari orang yang datang untuk memijat anaknya. Hanya saja pada hari Selasa libur tidak mijat.

Mbah Hamid punya keyakinan, jika pada hari tersebut memijat maka bukan kesembuhan yang dirasakan pasiennya, namun justru tambah parah sakit yang diderita pasiennya.

" Kalau hari selasa saya memijat pasienku justru tidak sembuh, bahkan bisa lebih parah," pungkasnya.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Bahrullah
Editor : Imam Hairon

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya